Breaking

Tuesday, June 4, 2019

Cerita Seks Selingkuh Membawa Nikmat Pada Saat Mudik


SUPERSEMAR88.BLOGSPOT.COM - Semenjak berkeluarga dan tinggal di Jakarta saya senantiasa sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Yogyakarta tiap hari raya Idul Fitri. Saya paling menyukai mudik dengan kendaraan beroda empat sendiri. Ketika buah hati-anakku masih kecil saya menyupir sendiri hingga ke rumah orang tua. Kemudian dikala anakku telah besar dan dewasa, merekalah yang bawa kendaraan beroda empat.

Sekiranya pulang mudik saya paling bersuka ria via jalanan selatan yang tak demikian itu ramai dan jarang ada kemacetan. Dan yang paling saya menyukai yakni dikala saya via desa Redjo Legi memasuki masuk kota Purworejo. Disitu tinggal pamanku, yang saya umum panggil Pak Lik, ia adik sepupu bapakku. Saya amat akrab dengannya sebab si kecilnya yang seumur denganku indekost di rumahku. Sekiranya hari libur saya acap kali diajak pulang ke Redjo Legi cari belut. Depan rumahnya yang sampai sekarang masih yakni sawah yang terbentang senantiasa ada belut untuk kami tangkap dan goreng.

Nostalgia variasi itulah yang membikin saya senantiasa berharap mengenang kembali masa kecilku dengan melowongkan mampir kerumah Pak Lik tiap saya pulang mudik. Dan ada yang tak berubah di rumah Pak Lik semenjak saya kecil dahulu, adalah rumahnya yang berdinding gedek kulit bambu itu. Menawannya gedek variasi itu yakni fungsi peredaran udaranya amat baik sebab gedeknya itu bercelah-celah imbas jalinan bambu yang tak mungki dapat rapat benar.


Dan dikala pagi hari sang surya akan menembusi gedek itu sehingga panasnya cukup untuk membangunkan kami yang maunya masih bermalas-malas di amben, istilah setempat untuk balai-balai yang terbuat dari bambu. Situasi dan suasana itulah pulalah yang kian membikin saya senantiasa mampir di rumah Pak Lik tiap saya pulang mudik. Dan padahal dikala usianya telah lebih dari 50 tahun atau 20 tahun di atas aku, tapi Pak Lik konsisten terlihat gagah dan sehat.

Dua tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia sebab sakit sehingga sekarang Pak Lik menjadi duda. Untuk menyangga kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk mencuci bajunya dan masak ala kadarnya. Bila telah tak ada lagi yang dilakukan ia pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Pak Lik. Alhasil Pak Lik menjadi terbiasa hidup sendirian di rumahnya.

Sanak saudaranya yang memberi saran untuk kawin lagi supaya ada perempuan yang membuatkan kopi di pagi hari atau menjadi sahabat dikala bertandang ke sanak keluarga, tapi Pak Lik belum juga menemukan jodohnya yang cocok dengan harapan hatinya. Padahal pengajarannya cukup tinggi, waktu itu telah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari dari dahulu sampai sekarang yakni tani. Ia menggarap sendiri sawahnya.

Tahun ini saya dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Kecil-anakku punya acara sendiri bersama sahabat-sahabatnya yang sulit saya pengaruhi untuk turut mengantar kami. Ya, telah. Saya nggak menyukai memaksa-maksa buah hati. Mereka perlu dewasa dan belajar mengambil keputusan sendiri. Memasuki masuk kota Kroya jam menampakkan pukul 2 siang dikala saya merasa agak tak sedap badan. Badanku agak demam dan kepalaku pusing. Sambil pesan supaya nyopirnya nggak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang senantiasa ia bawa dikala bepergian jauh.

Setelah saya meminumnya rasa badanku agak lumayan, pusingku sedikit berkurang. Namun konsisten saja tak senyaman jika badan lagi benar-benar sehat. Memasuki menjelang desa Redjo Legi menuju rumah Pak Lik saya menikmati sakitku tidak dapat terbendung lagi. Kupaksakan terus jalan perlahan-perlahan sampai ideal jam 5 petang mobilku menjelang halaman rumah Pak Lik yang dengan penuh kehangatan menyambut kami.

Saat ia tahu saya sakit, ia panggil embok-embok di kampungnya yang umum mijit dan kerokan, kultur orang Jawa jika sakit badannya di kerok dengan mata uang logam untuk mengeluarkan anginnya. Saat sakitku tak berkurang juga walhasil istriku membawa saya ke dokter yang tak jauh dari rumah Pak Lik. Saya diberikan obat dan diperintah banyak rehat dan tidur. Sepulang dari dokter Pak Lik telah merepotkan dirinya dengan menyediakan makan malam. Sebelum minum obat istriku memerintah saya makan dahulu barang sedikit. Dan seusai saya minum obat, saya segera diserang kantuk yang luar umum. Terbukti dokter sudah memberikan obat tidur padaku. Saya segera tertidur pulas.

Sekitar pukul 2 atau 3 malam, saya tak demikian itu pasti, saya dibangunkan oleh bunyi bising amben bambu dibarengi bunyi rintihan dan desahan halus dari sebelah dinding kamarku. Kantukku masih amat memberati mataku. Saya menyentuh-raba istriku tapi tidak kutemukan, mungkin ia sedang turun kencing. Di rumah Pak Lik kamar-kamar tidurnya tak dilengkapi lampu.

Sinar dalam kamar cukup didapatkan dari pengaruh lampu di ruang tetamu yang sekalian ruang keluarga yang tembus ke dinding bambu yang banyak celah lubangnya itu. Bunyi amben yang terus mengganggu kupingku memaksa saya mengintip ke celah dinding. Apa yang kemudian saya lihat segera memukul diriku. Saya terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing sebab sakit segera kumat.

Saya kembali tergeletak dengan jantungku yang berdegup kencang dan keras. Benarkah Dik Narti istriku sudah tega mengkhianati saya? Benarkah Pak Lik yang saya senantiasa bagus padanya sudah tega menggauli istriku yang mestinya dianggap sama dengan istri si kecilnya juga? Apakah kekuranganku Dik Narti? Apakah sebab kesibukkanku yang senantiasa merampas waktuku sehingga kau merasa mempunyai hak untuk mendapatkan orang lain?

Apakah sebab cuma itu sebagaimana yang acap kali kau keluhkan padaku? Ataukah Pak Lik yang telah 2 tahun men-duda sudah membujuk rayu padamu dan kau tidak sanggup menolaknya? Ah, sejuta pertanyaan yang saya nggak sanggup menjawabnya sebab kian menambah pusing kepalaku. Sementara bising amben itu kian tidak terkendali. Dan rintihan Dik Narti serta desahan berat Pak Lik kian terang di kupingku. Saya tidak sanggup bangun sebab obat yang saya minum membikin saya limbung jika nggak ada yang menuntunku. Saya cuma dapat kembali ngintip dari celah dinding itu.

Kulihat Pak Lik sedang mengayun-ayun kontolnya yang lumayan gede ke lubang memek istriku sambil mengecup Dik Narti penuh nafsu. Sementara Dik Narti memegangi dan meremas rambut Pak Lik untuk mempertimbangkan bibir-bibir mereka dapat konsisten saling berpagut dan menggilas. Bunyi ciuman dikala bibir yang satu terlepas dari bibir yang lain kudengar terus beruntun. Sementara ayunan kontol Pak Lik yang kian menghunjam-hunjam Miss V istriku kian membikin ambennya menjadi lebih bising lagi.

“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”, duh, rintihan Dik Narti yang sedemikian merasakan derita daya seksualitasnya membuatku kepalaku kian terpukul-pukul.
Darah yang naik ke kepalaku kian membuatku pusing yang sedemikian hebatnya.

Dan desahan Pak Lik sendiri nggak keok hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang sudah men-duda lebih dari 2 tahun tentu kandungan birahinya amat menumpuk. Bukan tak mungkin dialah yang mengawali dan melemparkan bujuk rayu pada istriku sementara ia tahu saya nggak akan gampang terbangun sebab obat tidurku ini. Kembali saya ngintip ke dinding. Kulihat buah dada dan istriku yang masih demikian ranum dengan pentilnya yang tegak pesat menikam ke depan telah terungkap dari kantung BH-nya.

Tetapi pasti ulah Pak Lik yang membetotnya keluar untuk ia libas-libas bukitnya dan sedoti pentilnya sampai kuyup oleh ludahnya. Kulihat bagaimana ketiak istriku yang terbuka dikala memegangi kepala dan meremasi rambut Pak Lik. Pasti lidah dan air liur Pak Lik juga telah melumati dan menjilati sampai berair kuyup pada ketiak Dik Narti yang amat sensual itu. Kembali saya runtuh ke ambenku.

Rasa nyut-nyut di kepalaku amat menyakitkan. Tanganku berupaya memijit-mijt untuk mengurangi rasa sakitnya. Namun tiap kali saya terpengaruh untuk kembali ngintip di lubang dinding. Kulihat kontol Pak Lik serasa kian sesak menembusi Miss V Dik Narti. Ia tarik keluar perlahan dengan dibarengi desahan beratnya dan rintihan Dik Narti, kemudian mensupportnya masuk kembali dengan desahan dan rintihan mereka lagi.

Ia lakukan itu berulang-ulang dan desahan serta rintihannya juga terdengar mengulang-ulang. Kemudian kulihat tikaman kontol Pak Lik makin dipercepat. Mungkin kegatalannya pada kelamin-kelamin mereka makin menjadi-jadi. Pak Lik tak lagi melumati bibir Dik Narti. Ia turun dari amben dan mengangkat satu tungkai kaki istriku dan mengangkat sampai meraba dadanya.

Dengan metode itu Pak Lik dapat lebih dalam menghunjamkan kontolnya ke memek istriku Dik Narti. Dan alhasil kenikmatan yang tidak terperi melanda istriku. Ia meremasi sendiri susunya sambil kepalanya yang rambutnya sudah amburadul acak-acakan terus bergoyang ke kanan dan ke kiri membendung siksaan sedap yang terperi. Racauan terus keluar dari mulutnya. Mereka telah amat lupa diri. Mereka telah tak lagi memperhitungkan saya yang suaminya atau keponakannya yang sekarang berada di sebelah dinding dan tengah tergolek sakit hampir mati.

Kenikmatan nafsu daya seksualitas sudah menghempaskan mereka ke sifat kebinatangan yang tidak mengetahui lagi ada rasa iba, martabat, hormat dan menghargai etika-etika hidup sebagaimana mestinya. Mereka telah hangus terbakar dan berubah sifatnya menjadi gumpalan nafsu setan gentayangan. Saya terbatuk-batuk dan mual. Pusing kepalaku segera menghebat.

Dengan bunyi yang sengaja kukeraskan saya mengeluarkan dahakku yang kemudian disusul dengan muntah-muntah. Saya ingin dengan tindakakanku itu segalanya menjadi stop. Mereka pasti akan bergegas membantu saya. Namun bunyi amben itu justru makin kencang dan pesat. Sehingga sekarang ada dua sumber bising di dalam rumah Pak Lik ini. Suaraku yang orang sakit dan membutuhkan pertolongan di kamar sebelah sini dan bunyi yang berkejar-kejaran dengan nafsu setan di kamar di sebelah sana.

Saya tahu mereka dalam kondisi tanggung. Puncak sedap telah dekat dan nafsu daya seksualitas untuk memuntahkan segalanya telah di ubun-ubun. Mereka pasti berdaya upaya, biarkan saja saya menunggu. Dan dikala dikala puncak mereka walhasil hadir bunyi-bunyi di rumah ini benar-benar ribut. Saya yang muntah-muntah tanpa henti dengan suaraku seperi babi yang disembelih bercampur dengan bunyi Pak Lik bersama istriku berteriak histeris mendapatkan kenyataan sedap dari orgasme yang mereka raih. Untuk sesaat bunyi amben masih terdengar bising untuk kemudian reda dan sunyi. Sementara disini saya masih mengeluarkan bunyi dari batukku disertai dengan rasa berharap muntah yang keluar dari tenggorokanku.

Alhasil istriku timbul di pintu. Saya kepalaku. Ah, kok makin panas mas, obatnya diminum lagi ya, katanya. Kemudian dengan kuat tangannya meringkus saya dan memaksakan obat cair masuk ke mulutku. Saya terlampau lemah untuk menolaknya.

Ketika jari-jarinya memencet hidungku kesusahan nafasku memaksa saya menelan segala obat yang sudah berada dalam rongga mulutku. Kemudian disuruhnya saya minum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk saya telah kembali jatuh tertidur pulas. Dan saya nggak punya alibi sedikitpun atas apa yang berikutnya terjadi di rumah ini sampai 6 jam kemudian dikala saya terbangun.

Jam 9 pagi esoknya saya terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat yakni dinding dimana saya memata-matai selingkuh istriku dengan Pak Lik. Saya berang pada dinding itu. Tetapi demikian itu banyak lubangnya sehingga saya dapat mengintip. Dan saya juga berang pada diriku mengapa saya yang sakit ini masih pengin mengintip ke dinding itu dan menyaksikan istriku menanggung sedap dikala kontol Pak Lik menggojlok genitalianya. Ia dikala saya berharap teriak sebab berang besarku istriku ia timbul di pintu. Pandangan matanya saya rasakan amat lembut. Ia mendekat dan duduk di ambenku. Ia ganti kompres di kepalaku dengan elusan tangannya yang lembut sambil berkata,

“Mas Roso (demikian itu ia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas badannya tinggi. Saya jadi takut dan kuatir. Pak Lik bilang agar saya ambil air dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”.
Ketika mendengar mulutnya menyebut Pak Lik yang saya ingat betul nada bunyi dan pengucapannya persis sebagaimana saya dengar dikala ia meracau penuh sedap tadi malam, lantas darahku mendidih dan tanganku segera mencekal blusnya dan berharap membantingnya ke tanah. Namun senyum sejuknya kembali hadir di bibirnya,


“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dinikmati, sayang”, sebutnya lembut tanpa prasangka dengan mukanya yang terlihat konsisten suci bersih.
Saya didih darahku surut. Saya tidak sanggup melawan kelembutan dan senyumnya itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik kini. Ia bilang Pak Lik ke sawah. Hari ini giliran ia untuk membuka pematang supaya air mengalir kesawahnya. Ia juga bilang supaya saya banyak rehat saja dahulu. Ia telah menelpon orang tua di Yogya dari kantor telepon, memberitakan bahwa saya sakit dan akan rehat dahulu di Redjo Legi. Kemudian ia beranjak dan kembali dengan sepiring bubur sum-sum, saya disuapinya.

Saya jadi berdaya upaya apa yang hakekatnya terjadi tadi malam. Apakah panas badanku yang sedemikian rupa sudah membawaku ke alam mimpi hingga saya mengigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu memang benar-benar sebuah kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku kembali men’cekok’i saya dengan obatnya. Dan saya kembali tertidur. Sebelum saya nyenyak benar, istriku dengan penuh beri memeluk saya, mengelusi kepalaku sambil mendekatkan kedadanya. Pada dikala itu saya menikmati semburat bebauan yang lembut menghempas ke hidungku.

Tetapi itu saya yakini yakni bebauan air liur yang sudah mengering pada buah dada dan komponen tubuh istriku yang lain. Namun obat tidurku tidak memberi kans padaku untuk melek lebih lama. Saya kembali pulas tertidur.  sekarang, 6 bulan setelah pulang mudikku itu, saya konsisten tak tahu apa yang hakekatnya terjadi. Dan saya tak memiliki alibi apa saja untuk mempertanyakan harapan tahuku pada istriku. Yang mungkin dapat dan perlu saya lakukan yakni memilih jalanan utara yang padat dikala pulang mudik yang akan datang.

No comments:

Post a Comment