supersemar88.blogspot.com -Sejak berkeluarga dan tinggal di Jakarta saya tetap sempatkan pulang mudik menengok orang tua di Yogyakarta setiap hari raya Idul Fitri. Aku paling bahagia mudik bersama mobil sendiri. Saat anak-anakku masih kecil saya menyupir sendiri sampai ke tempat tinggal orang tua. Kemudian saat anakku telah besar dan dewasa, merekalah yang bawa mobil.
Kalau pulang mudik saya paling bahagia lewat jalan selatan yang tidak begitu ramai dan jarang tersedia kemacetan. Dan yang paling saya bahagia adalah saat saya melewati desa Redjo Legi menjelang masuk kota Purworejo. Disitu tinggal pamanku, yang saya biasa panggil Pak Lik, dia adik sepupu bapakku. Aku amat akrab dengannya dikarenakan anaknya yang seumur denganku indekost di rumahku. Kalau hari libur saya kerap diajak pulang ke Redjo Legi cari belut. Depan rumahnya yang sampai kini masih merupakan sawah yang terbentang tetap tersedia belut untuk kita tangkap dan goreng.
Nostalgia macam itulah yang membawa dampak saya tetap menghendaki mengenang lagi masa kecilku bersama menyempatkan berkunjung kerumah Pak Lik setiap saya pulang mudik. Dan tersedia yang tidak beralih di tempat tinggal Pak Lik sejak saya kecil dulu, yakni rumahnya yang berdinding gedek kulit bambu itu. Indahnya gedek macam itu adalah kegunaan sirkulasi udaranya amat bagus dikarenakan gedeknya itu bercelah-celah akibat jalinan bambu yang tidak mungkin dapat rapat benar.
Dan saat pagi hari matahari dapat menembusi gedek itu agar panasnya lumayan untuk membangunkan kita yang maunya masih bermalas-malas di amben, arti setempat untuk balai-balai yang terbuat dari bambu. Kondisi dan keadaan itulah pulalah yang tambah membawa dampak saya tetap berkunjung di tempat tinggal Pak Lik setiap saya pulang mudik. Dan walaupun saat usianya telah lebih dari 50 tahun atau 20 tahun di atas saya, tapi Pak Lik tetap keluar gagah dan sehat.
Dua tahun yang selanjutnya Bu Lik meninggal dunia dikarenakan sakit agar kini Pak Lik menjadi duda. Untuk menolong kegiatannya sehari-hari Pak Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk membasuh pakaiannya dan masak ala kadarnya. Apabila telah tidak tersedia lagi yang ditunaikan dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat tinggal Pak Lik. Akhirnya Pak Lik menjadi terbiasa hidup sendirian di rumahnya.
Sanak saudaranya yang memberi saran untuk kawin lagi agar tersedia perempuan yang membuatkan kopi di pagi hari atau menjadi teman saat bertandang ke sanak keluarga, tapi Pak Lik belum termasuk menemukan jodohnya yang sesuai bersama keinginan hatinya. Walaupun pendidikannya lumayan tinggi, saat itu telah menyandang titel BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari dari pernah sampai kini adalah tani. Dia menggarap sendiri sawahnya.
Tahun ini saya dan istriku terpaksa pulang mudik berdua saja. Anak-anakku mempunyai acara sendiri bersama teman-temannya yang ada problem saya memengaruhi untuk turut menemani kami. Ya, sudah. Aku nggak bahagia memaksa-maksa anak. Mereka mesti dewasa dan belajar mengambil ketetapan sendiri. Menjelang masuk kota Kroya jam membuktikan pukul 2 siang saat saya merasa agak tidak enak badan. Badanku agak demam dan kepalaku pusing. Sambil pesan agar nyopirnya nggak usah buru-buru, istriku memberi obat berupa puyer anti masuk angin yang tetap dia bawa saat bepergian jauh.
Sesudah saya meminumnya rasa badanku agak lumayan, pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja tidak senyaman jika badan lagi amat sehat. Menjelang memasuki desa Redjo Legi menuju tempat tinggal Pak Lik saya merasakan sakitku tak dapat tertahan lagi. Kupaksakan tetap jalan pelan-pelan sampai pas jam 5 sore mobilku memasuki halaman tempat tinggal Pak Lik yang bersama penuh kehangatan menyambut kami.
Ketika dia sadar saya sakit, dia panggil embok-embok di kampungnya yang biasa mijit dan kerokan, formalitas orang Jawa jika sakit badannya di kerok bersama mata duwit logam untuk mengeluarkan anginnya. Ketika sakitku tidak berkurang termasuk akhirnya istriku membawa saya ke dokter yang tidak jauh dari tempat tinggal Pak Lik. Aku dikasih obat dan disuruh banyak istirahat dan tidur. Sepulang dari dokter Pak Lik telah menyulitkan dirinya bersama sedia kan makan malam. Sebelum minum obat istriku menyuruh saya makan pernah barang sedikit. Dan seusai saya minum obat, saya langsung terserang kantuk yang luar biasa. Rupanya dokter telah beri tambahan obat tidur padaku. Aku langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 2 atau 3 malam, saya tidak begitu pasti, saya dibangunkan oleh suara berisik amben bambu dibarengi suara rintihan dan desahan halus dari sebelah dinding kamarku. Kantukku masih amat memberati mataku. Aku meraba-raba istriku tapi tak kutemukan, mungkin dia tengah turun kencing. Di tempat tinggal Pak Lik kamar-kamar tidurnya tidak ditambah lampu.
Cahaya didalam kamar lumayan didapat dari imbas lampu di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga yang tembus ke dinding bambu yang banyak celah lubangnya itu. Suara amben yang tetap mengganggu kupingku memaksa saya mengintip ke celah dinding. Apa yang lantas saya menyaksikan langsung memukul diriku. Aku terpana dan limbung. Kepalaku yang pusing dikarenakan sakit langsung kambuh.
Aku lagi terkapar bersama jantungku yang berdegup cepat dan keras. Benarkah Dik Narti istriku telah tega mengkhianati aku? Benarkah Pak Lik yang saya tetap baik padanya telah tega menggauli istriku yang semestinya diakui sama bersama istri anaknya juga? Apakah kekuranganku Dik Narti? Apakah dikarenakan kesibukkanku yang tetap merampas waktuku agar anda merasa berhak untuk menerima orang lain?
Apakah dikarenakan hanya itu sebagaimana yang kerap anda keluhkan padaku? Ataukah Pak Lik yang telah 2 tahun men-duda telah membujuk rayu padamu dan anda tak dapat menolaknya? Ah, sejuta pertanyaan yang saya nggak dapat menjawabnya dikarenakan tambah menaikkan pusing kepalaku. Sementara berisik amben itu tambah tak terkendali. Dan rintihan Dik Narti dan juga desahan berat Pak Lik tambah sadar di kupingku. Aku tak dapat bangun dikarenakan obat yang saya minum membawa dampak saya limbung jika nggak tersedia yang menuntunku. Aku hanya dapat lagi ngintip dari celah dinding itu.
Kulihat Pak Lik tengah mengayun-ayun kontolnya yang lumayan gede ke lubang memek istriku sambil mencium Dik Narti penuh nafsu. Sementara Dik Narti memegangi dan meremas rambut Pak Lik untuk meyakinkan bibir-bibir mereka dapat tetap saling berpagut dan melumat. Suara kecupan saat bibir yang satu lepas dari bibir yang lain kudengar tetap beruntun. Sementara ayunan kontol Pak Lik yang tambah menghunjam-hunjam vagina istriku tambah membawa dampak ambennya menjadi lebih berisik lagi.
“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik.. oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”, duh, rintihan Dik Narti yang sedemikian nikmati derita birahinya membuatku kepalaku tambah terpukul-pukul.
Darah yang naik ke kepalaku tambah membuatku pusing yang sedemikian hebatnya.
Dan desahan Pak Lik sendiri nggak kalah hebatnya. Sebagai lelaki sehat yang telah men-duda lebih dari 2 tahun tentu persentase libidonya amat menumpuk. Bukan tidak mungkin dialah yang memulai dan melemparkan bujuk rayu terhadap istriku saat dia sadar saya nggak dapat mudah terbangun dikarenakan obat tidurku ini. Kembali saya ngintip ke dinding. Kulihat buah dada dan istriku yang masih demikian ranum bersama pentilnya yang tegak kencang menusuk ke depan telah terbongkar dari kantung BH-nya.
Itu tentu ulah Pak Lik yang membetotnya keluar untuk dia lumat-lumat bukitnya dan sedoti pentilnya sampai kuyup oleh ludahnya. Kulihat bagaimana ketiak istriku yang terbuka saat memegangi kepala dan meremasi rambut Pak Lik. Pasti lidah dan ludah Pak Lik termasuk telah melumati dan menjilati sampai basah kuyup terhadap ketiak Dik Narti yang amat sensual itu. Kembali saya ambruk ke ambenku.
Rasa nyut-nyut di kepalaku amat menyakitkan. Tanganku mengusahakan memijit-mijt untuk kurangi rasa sakitnya. Tetapi setiap kali saya dipengaruhi untuk lagi ngintip di lubang dinding. Kulihat kontol Pak Lik serasa tambah sesak menembusi vagina Dik Narti. Dia tarik keluar pelan bersama dibarengi desahan beratnya dan rintihan Dik Narti, lantas mendorongnya masuk lagi bersama desahan dan rintihan mereka lagi.
Dia melaksanakan itu berulang-ulang dan desahan dan juga rintihannya termasuk terdengar mengulang-ulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak Lik tambah dipercepat. Mungkin kegatalannya terhadap kelamin-kelamin mereka tambah menjadi-jadi. Pak Lik tidak lagi melumati bibir Dik Narti. Dia turun dari amben dan mengangkat satu tungkai kaki istriku dan mengangkat sampai menyentuh dadanya.
Dengan cara itu Pak Lik dapat lebih didalam menghunjamkan kontolnya ke memek istriku Dik Narti. Dan akibatnya kenikmatan yang tak terperi melanda istriku. Dia meremasi sendiri susunya sambil kepalanya yang rambutnya telah amburadul acak-acakan tetap bergoyang ke kanan dan ke kiri menahan siksa nikmat yang terperi. Racauan tetap keluar dari mulutnya. Mereka telah amat lupa diri. Mereka telah tidak lagi memperhitungkan saya yang suaminya atau keponakannya yang kini berada di sebelah dinding dan tengah tergeletak sakit nyaris mati.
Kenikmatan nafsu birahi telah menghempaskan mereka ke sifat kebinatangan yang tak mengenal lagi tersedia rasa iba, martabat, hormat dan menghargai norma-norma hidup sebagaimana mestinya. Mereka telah hangus terbakar dan beralih sifatnya menjadi gumpalan nafsu setan gentayangan. Aku terbatuk-batuk dan mual. Pusing kepalaku langsung menghebat.
Dengan suara yang sengaja kukeraskan saya mengeluarkan dahakku yang lantas disusul bersama muntah-muntah. Aku berharap bersama tindakakanku itu semuanya menjadi berhenti. Mereka tentu dapat bergegas menolong aku. Tetapi suara amben itu justru tambah cepat dan kencang. Sehingga kini tersedia dua sumber berisik di didalam tempat tinggal Pak Lik ini. Suaraku yang orang sakit dan membutuhkan bantuan di kamar sebelah sini dan suara yang berkejar-kejaran bersama nafsu setan di kamar di sebelah sana.
Aku sadar mereka didalam keadaan tanggung. Puncak nikmat telah dekat dan nafsu birahi untuk memuntahkan semuanya telah di ubun-ubun. Mereka tentu berpikir, biarkan saja saya menunggu. Dan saat saat puncak mereka akhirnya hadir suara-suara di tempat tinggal ini amat gaduh. Aku yang muntah-muntah tanpa henti bersama suaraku seperi babi yang disembelih bercampur bersama suara Pak Lik bersama istriku berteriak histeris menerima kenyataan nikmat dari orgasme yang mereka raih. Untuk sementara suara amben masih terdengar berisik untuk lantas reda dan sunyi. Sementara di sini saya masih mengeluarkan suara dari batukku disertai bersama rasa sudi muntah yang keluar dari tenggorokanku.
Akhirnya istriku keluar di pintu. Dipegangnya kepalaku. Ah, kok tambah panas mas, obatnya diminum lagi ya, katanya. Kemudian bersama kuat tangannya meringkus saya dan memaksakan obat cair masuk ke mulutku. Aku amat lemah untuk menolaknya.
Saat jari-jarinya memencet hidungku ada problem nafasku memaksa saya menelan seluruh obat yang telah berada didalam rongga mulutku. Kemudian disuruhnya saya minum air hangat. Sebelum air itu habis kuteguk saya telah lagi jatuh tertidur pulas. Dan saya nggak mempunyai alibi sedikitpun atas apa yang seterusnya berlangsung di tempat tinggal ini sampai 6 jam lantas saat saya terbangun.
Jam 9 pagi esoknya saya terbangun lemah. Pertama-tama yang kulihat adalah dinding di mana saya mengintai selingkuh istriku bersama Pak Lik. Aku marah terhadap dinding itu. Kenapa begitu banyak lubangnya agar saya dapat mengintip. Dan saya termasuk marah terhadap diriku kenapa saya yang sakit ini masih pengin mengintip ke dinding itu dan menyaksikan istriku menanggung nikmat saat kontol Pak Lik menggojlok kemaluannya. Tapi saat saya menghendaki teriak dikarenakan marah besarku istriku dia keluar di pintu. Pandangan matanya saya rasakan amat lembut. Dia mendekat dan duduk di ambenku. Dia rubah kompres di kepalaku bersama elusan tangannya yang lembut sambil berkata,
“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman mengigau terus. Panas badannya tinggi. Aku menjadi kuatir dan khawatir. Pak Lik bilang agar saya ambil air dan kain untuk mengompres kepala Mas Roso”.
Saat mendengar mulutnya menyebut Pak Lik yang saya ingat betul suara suara dan pengucapannya identik sebagaimana saya dengar saat dia meracau penuh nikmat tadi malam, seketika darahku mendidih dan tanganku langsung mencekal blusnya dan menghendaki membantingnya ke tanah. Tetapi senyum teduhnya lagi hadir di bibirnya,
“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan, sayang”, ucapnya lembut tanpa prasangka bersama mukanya yang keluar tetap suci bersih.
Langsung didih darahku surut. Aku tak dapat melawan kelembutan dan senyumnya itu. Kutanyakan padanya di mana Pak Lik sekarang. Dia bilang Pak Lik ke sawah. Hari ini giliran dia untuk mengakses pematang agar air mengalir kesawahnya. Dia termasuk bilang agar saya banyak istirahat saja dulu. Dia telah menelpon orang tua di Yogya dari kantor telepon, mengabarkan bahwa saya sakit dan dapat istirahat pernah di Redjo Legi. Kemudian dia beranjak dan lagi bersama sepiring bubur sum-sum, saya disuapinya.
Aku menjadi berpikir apa yang sesungguhnya berlangsung tadi malam. Apakah panas badanku yang sedemikian rupa telah membawaku ke alam mimpi sampai saya mengigau sepanjang malam sebagaimana kata istriku, ataukah perselingkuhan Pak Lik bersama istriku itu sesungguhnya amat sebuah kenyataan? Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku lagi men’cekok’i saya bersama obatnya. Dan saya lagi tertidur. Sebelum saya lelap benar, istriku bersama penuh kasih memeluk aku, mengelusi kepalaku sambil mendekatkan kedadanya. Pada saat itu saya merasakan semburat aroma yang lembut menerjang ke hidungku.
Aroma itu saya yakini adalah aroma ludah yang telah jadi kering terhadap buah dada dan bagian tubuh istriku yang lain. Tetapi obat tidurku tak memberi kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku lagi pulas tertidur. Sampai kini, 6 bulan setelah pulang mudikku itu, saya tetap tidak sadar apa yang sesungguhnya terjadi. Dan saya tidak membawa alibi apa pun untuk mempertanyakan keinginan tahuku terhadap istriku. Yang mungkin dapat dan mesti saya melaksanakan adalah pilih jalan utara yang padat saat pulang mudik yang dapat datang.
No comments:
Post a Comment